Rabu, 14 April 2010

KEIKHLASAN DALAM BERKARYA (BEKERJA)

KEIKHLASAN DALAM BERKARYA




Pada suatu waktu dalam pertemuan di salah satu Universitas Islam di Jakarta dalam rangka memperbaiki performance universitas tersebut, seorang konsultan dikejutkan oleh seorang dosen wanita berkerudung yang saat itu marah sekali kepadanya. Pasalnya, Konsultan mengusulkan suatu program cost cutting yakni penekanan cost terlebih dahulu untuk memperbaiki kinerja institusi sehingga akhirnya dapat memungkinkan untuk memperbaiki sistem remunerasi karyawan. Memang posisi saya di Universitas tersebut adalah bekerja tanpa dibayar. Wanita itu mengatakan, “ Bapak enak saja, mentang-mentang banyak duit, bekerja untuk kesenangan belaka, sedangkan kami disini baru bisa bekerja semata-mata hanya untuk perut keluarga kami ! ”



Hal serupa pernah juga terjadi di salah satu tempat bekerja, ketika dilakukan pertemuan antara karyawan dengan management perusahaan dalam rangka perbaikan sistem remunerasi dari perusahaan sedangkan perusahaan sendiri dalam keadaan yang kurang mampu. Dalam pertemuan tersebut kita diminta untuk memberikan pendapat mengenai masalah tersebut, dan melontarkan manakah yang akan kita anut, performance following rewards atau sebaliknya rewards following performance.

Banyak perdebatan tentang hal ini. Ada pendapat yang mengatakan dalam bekerja kita harus profesional, di mana sebelum mulai bekerja harus jelas bagaimana sistem remunerasinya, apakah sesuai dengan kapasitas maupun kemampuan kita dan setiap waktu kita harus bisa menghitung rewards yang akan didapatkan terhadap performansi kita dengan jelas. Pendapat ini perlu dipertanyakan kembali jika kita melihat persoalannya dari sisi agama Islam.



Dalam Islam kita mengetahui bahwa segala amalan apapun yang kita kerjakan termasuk ibadah kita bahkan hidup maupun mati kita hanyalah karena Allah se-mata2. Juga kita sendiri sering mengatakan semua amalan dan ibadah kita adalah ‘Lillahi ta’ala’ dan ditujukan wepenuhnya untuk mendapatkan ridho dari-Nya. Itulah sebabnya sebelum kita mulai melakukan apapun, selalu dimulai dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Islam juga mengajarkan dengan jelas bahwa janganlah sekali-kali menghitung rejeki yang akan kita terima, karena sesungguhnya hal itu adalah urusan Allah se-mata2.



Sebagai suatu ilustrasi, misalkan seseorang menyumbangkan sesuatu kepada orang yang miskin, sesungguhnya penerima itu menerima rejeki dari Allah, sedangkan penyumbang itu adalah hanya perantara belaka. Dengan demikian seorang muslim harus berterimakasih kepada Allah SWT atas segala rejeki yang diterimanya, darimanapun dia mendapatkannya. Ini semua adalah suatu konsep yang jelas dari Islam yang mengajarkan keikhlasan yang tinggi bagi ummatnya untuk menjalani kehidupannya sedemikian rupa sehingga semua amalan dikerjakan dengan penuh keikhlasan hanya karena Allah se-mata2, dengan ultimate goal-nya adalah untuk memperoleh ridho dari Allah SWT, sedangkan apa yang akan diterimanya sebagai remunerasi atas segala perbuatannya tersebut (rejekinya) adalah urusan Allah se-mata2. Sehingga sebagai ummatnya yang taat, maka apapun itu, akan kita terima dengan ke-ikhlasan bahkan penuh ke-syukuran. Sehingga dalam Islam, bekerja itu lebih mendekati berbakti, mungkin kata yang lebih tepat adalah berkarya, dimana kesannya lebih untuk kepentingan masyarakat / lingkungan serta jauh daripada untuk kepentingan pribadi.



Sebetulnya konsep ini sangat gamblang didalam Islam, bahkan sering sekali kita ucapkan baik pada waktu melakukan ibadah sholat maupun sering sekali diucapkan dalam kesempatan2 lainnya. Akan tetapi sangat jelas juga penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, dan kedua contoh di atas merupakan bukti. Kita lihat juga dalam kenyataan, walaupun kita semua menyadari bahwa semua amalan, ibadah, bahkan hidup maupun mati kita adalah hanya karena Allah se-mata2, tetapi dalam prakteknya secara sadar atau tidak, kita sering membelokkan sedemikian rupa sehingga tujuan kita bekerja adalah mulai dari hanya karena perut sampai ada juga yang semata-mata mengejar uang atau harta. Sangatlah jelas hal ini bertentangan sekali dengan ajaranNya, karena kita telah menggantikan kedudukan Tuhan dengan perut ataupun harta, sehingga ini bisa ditafsirkan sebagai suatu dosa yang besar sekali karena telah berlaku syirik yaitu menduakan Tuhan. Dapat dikatakan kita lupa dan jauh sekali dari filosofi dasar Islam diatas, sebab kita telah menuhankan uang, harta, kekuasaan dan lain sebagainya.



Sebaliknya, bila kita selalu dalam kerangka filosofi Islam di atas, maka sebetulnya kita akan sangat tenang menjalankan kehidupan, karena tidak ada yang bisa mengganggu kita dalam berkarya untuk mendapatkan ridho dariNya. Kita akan bekerja bersungguh-sungguh tanpa pamrih, tanpa tergantung dari siapapun baik itu atasan, perusahaan tempat kita bekerja, bahkan kita akan bekerja keras tanpa memikirkan bonus yang akan diterima. Kita tidak perlu memperdulikan keberhasilan rekan-rekan bahkan saingan kita sekalipun, sebab kita akan tetap fokus untuk mencapai hasil karya yang sebaik-baiknya untuk mendapatkan ridhoiNya. Akibat sikap seperti inilah akan terlihat cara kerja yang mempunyai ‘achievement motive’ tinggi, dedikasi, dan komitment terhadap keberhasilan yang tinggi dan lepas dari segala bentuk stress, penyesalan maupun kelelahan karena tujuan bekerja kita maupun reward yang akan kita terima berada jauh diatas campur tangan manusia.



Saya sendiri pernah diingatkan tentang konsep ini. Pada walnya sangat sulit menerima hal ini, karena sepertinya tidak masuk akal. Bukankah selama ini selalu didengung-dengungkan bahwa reward tergantung dari usaha kita? Makin keras kita bekerja maka makin banyak reward yang akan dihasilkan. Oleh sebab itu biasanya kita meminta kondisi / system remunerasi yang jelas sebelum menerima pekerjaan, seolah-olah kita tidak akan perform sebelum kondisi-kondisi preseden tertentu dipenuhi. Hal ini dianggap sangat lumrah dalam menentukan job description v/s remuneration deal.



Di pihak lain saya juga banyak melihat contoh anak-anak muda yang bersikap tidak seperti yang digambarkan di atas. Karena mereka menyadari baru saja lulus (fresh from the oven), belum sama sekali mempunyai track record, maka tidak jarang mereka bersedia bekerja tanpa pamrih, misalnya mereka mengatakan, “anda tidak perlu membayar saya, tapi setelah berjalan 3 sampai 6 bulan dan anda senang dengan pekerjaan saya, bayarlah saya selayak kontribusi / nilai / value saya. Bila anda tidak senang, maka saya akan berterima kasih telah mendapatkan kesempatan berkarya untuk modal mencari pekerjaan ditempat lain”.

Ternyata sebagian besar mereka merupakan orang-orang yang mempunyai masa depan gemilang. Karena tidak adanya pamrih sama sekali, mereka bekerja lebih keras dibanding orang lain yang mempunyai kejelasan dalam sistem remunerasinya.



Perbandingan lain yang juga mencolok adalah, biasanya orang-orang yang aturan main reward and punishment-nya jelas malah lebih sibuk mencari-cari ‘loop-holes’ atau celah sedemikian rupa sehingga dengan bekerja sesedikit mungkin, dapat menghasilkan reward yang lebih besar, sehingga lupa atau bahkan menjauhi tujuan pekerjaan itu sendiri. Orang-orang yang seperti ini juga biasanya tidak mau bekerja lebih dari waktu yang ditentukan biarpun hanya semenit ( barangkali inilah sebenarnya muara terjadinya korupsi ! ). Kalau terjadi kegagalan dalam pekerjaan, maka dialah yang paling sibuk mencari kesalahan orang lain. Tidak perduli urusan orang lain, yang penting adalah dia memenuhi kewajiban dan tidak mau menambah sedikitpun tugas yang bukan termasuk tanggung jawabnya. Dia akan lebih dahulu menanyakan berapa tambahan remunerasi yang akan diterima bila dia melakukan hal tersebut.

Nah, orang-orang semacam ini biasanya lingkup pekerjaannya makin lama makin kecil, setahap demi setahap kontribusinya akan tidak nampak lagi bahkan kadang-kadang sampai lenyap sama sekali. Pada akhirnya dia tampak lebih sebagai beban daripada pendukung organisasi. Untuk melindungi dirinya, biasanya orang-orang semacam ini berusaha mati-matian menahan agar orang lain tidak bisa ikut campur dalam pekerjaannya, sehingga biasanya jabatannya tidak pernah meningkat karena terus di”keep” . Ironinya, bila karena sesuatu dan lain hal, terjadi program pengurangan pegawai, maka ternyata dialah yang akan menjadi orang pertama yang di PHK.



Sebaliknya orang yang bekerja tanpa pamrih karena tidak dibayar, ternyata lebih fokus pada hasil tujuan karyanya tanpa mempedulikan apakah ia akan mendapatkan penghargaan atau tidak, sehingga seringkali justru ia berinisiatif mengambil alih pekerjaan orang lain yang terbengkalai. Dalam hal ini yang menjadi ukuran keberhasilan atau kesuksesannya di fokuskan pada kemanfaatan dari hasil karyanya dan bukan pada reward yang akan diperolehnya. Akibatnya, tentu saja pimpinan atau perusahaan menjadi ketagihan dan sangat membutuhkan orang seperti ini, sehingga karirnya melesat cepat dengan penghasilan yang melonjak agar dia tidak diambil orang lain atau kompetitor. Kadangkala orang-orang seperti ini bahkan berani mengajukan usul agar dia diganti dengan orang yang lebih junior. Situasi ini kemudian secara otomatis mengakibatkan dia terdongkrak pada jabatan yang lebih tinggi dan tentunya remunerasinya jauh lebih baik. Inilah akibat dari kesuksesannya.



Jadi, lucunya di sini adalah dengan mengutamakan peningkatan kontribusi kita, serta memasrahkan rejeki kita di tangan Allah, ternyata membuat kita lebih ikhlas didalam berkarya dan keberhasilannya terlihat sangat mencolok.



Ada juga yang lebih ekstrem, yakni orang yang memasrahkan sepenuhkan nasibnya, karena mereka mengartikannya sebagai takdir yang telah ditentukan Allah, sehingga motivasi untuk bekerja boleh dibilang hilang sama sekali. Biasanya tipe orang yang seperti ini mempunyai karakteristik yang selalu hanya bisa mengeluh dan menyesalkan nasibnya yang dirasakan selalu gagal belaka.

Ini bisa dianggap yang bersangkutan sesungguhnya tidaklah ikhlas atas apapun pekerjaannya atau terjadinya takdir tersebut sehingga kesannya lebih mengarah kepada kekufuran karena dia tidak akan bisa mensyukuri rakhmat yang dilimpahkan Allah kepadanya dan biasanya sebagaimana yang dijanjikanNya orang ini akan menderita makin lama makin dalam. Seringkali orang tersebut berkilah, sebetulnya bila Allah sudah menentukan takdirnya, buat apalagi berusaha, sebab yang akan terjadi terjadilah! Apabila orang tersebut berbuat kesalahan, karena dia menganggap bahwa semua telah direncanakan dan ditakdirkan oleh-Nya, maka seharusnya dia tidak boleh dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. Na’uzubillahi minzalik !



Dalam hal ini pengertian takdir menjadi sangat penting untuk dapat disikapi.

Di dalam ajaran Islam kita diharuskan beriman kepada takdir, sedangkan takdir itu sebagaimana juga wujud Allah adalah dua misteri yang tidak pernah dapat dikuak oleh manusia sampai akhir zaman, akan tetapi kita tetap harus mengimani adanya Allah serta adanya kekuasaan takdir Allah. Mengapa ilmu pengetahuan yang ada tidak dapat menguak kedua hal tersebut diatas ? Saya hanya menduga karena di alam kita sekarang ini semua logika didasarkan asumsi dan premis dimana kita dibatasi oleh ruang dan waktu. Oleh karena kita mempunyai dimensi ruang seperti yang ada sekarang ini, maka sulit dibayangkan wujud Allah yang Maha Besar dan Maha Mengetahui.

Kalau wujud Allah itu besar sekali, maka Ia tidak dapat masuk keruangan yang kecil, sehingga bagaimana Ia mengetahui apa yang terjadi disitu. Akan tetapi bila (ini dugaan saya) alam Allah itu tidak mengenal dimensi ruang, maka tentunya hal itu tidak menjadi masalah. Akan tetapi kita manusia akan sulit membayangkan wujud Allah itu dalam keterbatasan kita yang alamnya mempunyai dimensi ruangan seperti yang ada sekarang.



Demikian pula dengan takdir. Kita mengetahui bahwa di dalam Islam Allah juga mengatakan : “tidaklah nasib suatu kaum itu bisa berubah bila tidak ada usaha dari kaum itu sendiri untuk mengubahnya”. Ini berarti nasib suatu kaum bergantung dari kaum itu sendiri. Pertanyaannya adalah di mana peran takdir disini? Apalagi kita tahu apapun yang telah terjadi, adalah karena telah ditentukan dan direncanakan oleh Allah sebagai TakdirNya.



Bagaimana mungkin kita diperintahkan untuk berusaha apapun sedangkan bila terjadi maka itu menjadi takdir Allah? Kalau begitu kapan takdir Allah itu direncanakan?

Apabila (kembali ini dugaan saya) alam Allah itu ternyata tidak mempunyai dimensi waktu seperti apa yang kita alami ini, maka dapat dikatakan batasan waktu tidak ada, sehingga urutan kejadian bisa saja tidak seperti yang kita alami sekarang ( bandingkan dengan certa film “Back to the Future” ). Dengan demikian mungkin saja masalahnya karena kita tidak dapat mencernakan alam dengan asumsi dan premis seperti itu.



Sebaiknya kita sikapi saja, bahwa arah nasib kita tergantung sepenuhnya dari usaha kita, sedangkan yang (sudah) terjadi, termasuk hasil dari kesalahan kita sekalipun adalah suatu rakhmat Allah yang telah ditakdirkan untuk secara ikhlas kita syukuri dengan cara mengamalkannya di jalan yang diridhoiNya, sebab Allah mempunyai rencana untuk itu, misalnya saja untuk menguji ketaatan ummatnya.



Ada suatu perangkat tip untuk menyikapi usaha kita dalam mengerjakan sesuatu misi:



selama waktu dan resources masih ada ( biar tinggal 5 menit dan tinggal 5 rupiah) tetaplah pada komitmen misi yang sudah kita niatkan sebelumnya.
apapun yang kita korbankan (spend) selama proses ini hendaknya selalu kita anggap sebagai suatu yang kita nikmati pengalamannya (experience-nya).
bila sampai pada batas waktunya kita hanya memperoleh sebagian dari tujuan kita, hendaknya ini kita syukuri, karena Allah pasti mempunyai rencana untuk kita (ingat janji Allah bahwa dibalik semua kesulitan ada kemudahan)
bila ternyata kita tidak mencapai apapun sebagaimana yang kita tuju, hendaknya kita anggap ini suatu jalan atau kesempatan untuk memulai sesuatu komitmen yang baru.


Dengan bersikap seperti diatas, maka kita akan selalu tenang, jauh dari stress dalam menjalani hidup ini dan berkarya secara ikhlas dan saya yakin kita akan selalu, paling sedikit, merasa sukses dalam mencapai tujuan usaha kita.





Dari uraian singkat diatas, saya menjadi yakin sekali akan ajaran Islam yang sebetulnya menyuruh kita berkarya dengan komitmen yang tinggi, penuh keikhlasan semata-mata hanya karenaNya dan untuk mendapatkan ridho dariNya, serta serahkanlah padaNya apapun yang akan kita terima sebagai rewardNya berupa rejeki yang akan dilimpahkan olehNya, untuk kita syukuri. Dan jangan lupa sesungguhnya semua pemberian Allah itu adalah selalu merupakan suatu amanah baru bagi kita untuk mengamalkannya dijalan yang diridhoiNya, itulah sebaik-baiknya cara mensyukuri nikmatNya.



Sesungguhnya Allah itu Maha Adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar